Horseback Archery dan Komodifikasi berbasis Agama

Tulisan oleh Sofiatul Hardiah
13 Mei 2022

Olahraga dalam Islam adalah upaya meningkatkan kualitas kehidupan fisik dan spiritual (Rahim et al., 2019). Islam mengajarkan pengikutnya untuk melakukan olahraga yang dapat meningkatkan kebugaran fisik dan spiritual, seperti berkuda, memanah, berlari, berenang, dan bergulat (Kızar, 2018). Pada konteks Indonesia, olahraga berkuda sambil memanah (horseback archery) hadir dalam ekosistem tren Islamisasi melalui popularitas gerakan hijrah dan gaya hidup Islami. Olahraga ini populer karena merepresentasikan citra kesatria, perjuangan, dan pembelaan terhadap agama Islam (Paddock, 2020).

Gerakan hijrah menempatkan gaya hidup berbasis Islam (syariah) sebagai komoditas Muslim urban yang dianggap keren dan merepresentasikan budaya populer yang modern. Gerakan ini mempopulerkan penggunaan pakaian gamis, mengonsumsi produk halal, bertransaksi di bank syariah, mengonsumsi konten digital Islami, melibatkan diri dalam lingkungan pertemanan dan tempat tinggal Islami, serta berolahraga sesuai sunnah Nabi Muhammad secara offline dan online. Gerakan ini membentuk citra pelakunya sebagai pribadi yang terlihat lebih salih di hadapan publik.

Popularitas horseback archery juga merepresentasikan perkawinan ideologi Islam transnasional dan kapitalisme. Gerakan hijrah membawa unsur-unsur religiusitas dan pengontrolan moral secara populer  sehingga menarik antusiasme Muslim Indonesia untuk berpartisipasi. Antusiasme ini memunculkan peluang bisnis bagi segelintir orang, baik sebagai produsen barang maupun penyedia jasa praktik kesalihan. Mereka mengkapitalisasi unsur-unsur religiusitas, seperti mempraktikkan sunnah dan mendapatkan pahala,  Olahraga horseback archery muncul sebagai ekstrakurikuler bagi pelajar di sekolah Islam dan pesantren—seperti Daarus Sunnah by MQ Equestrian yang beroperasi di kawasan Eco Pesantren Daarut Tauhid Parongpong, Bandung, Jawa Barat.  Olahraga ini muncul juga dalam bentuk program-program pelatihan berbayar yang terbuka untuk umum dan populer di media sosial—seperti Ditya Horse Land (@dityahorseland dengan 13 ribu pengikut Instagram) dan West Java Archery (@westjavaarchery dengan 6.533 pengikut Instagram).

Gambar 1. Seorang ayah dan dua anak perempuan sedang berlatih memanah

West Java Archery adalah sebuah label bisnis yang menyediakan wahana berkemah dan latihan memanah sambil berkuda (horseback archery) berbasis syariah. Bisnis ini memiliki program unggulan yaitu West Java Archery Fun Camp yang berlangsung setiap tahun. Tulisan ini mengulas fenomena komodifikasi Islam dalam bisnis olahraga horseback archery di West Java Fun Camp pada 29-30 Desember 2018 di Bandung. Kegiatan ini menjadi populer karena hadir dalam ekosistem popularitas gerakan hijrah kaum muda Indonesia dalam kurun waktu 2016-2018.

Gambar 2. Lapangan berkuda-memanah milik West Java Archery di Rancaupas, Bandung

Kamelia*, seorang pebisnis sekaligus pelatih utama di West Java Archery, menggelontorkan modal sekitar Rp 600 juta selama membangun bisnis olahraga berkuda dan memanah pada 2016-2018. Modal tersebut termasuk untuk kebutuhan membeli dua ekor kuda, sewa kandang, gaji karyawan, perlengkapan kuda, dan pengadaan wahana memanah. Bisnis ini memberikan keuntungan kepada Kamelia sebesar Rp 7-40 juta rupiah per bulan. Bisnis ini berkembang berdasarkan keyakinannya untuk memfasilitasi umat Muslim agar dapat menggunakan anak panah di jalan Allah dan mendapatkan surga bagi penyedianya. Kamelia mengatakan,

Allah akan memasukkan tiga orang ke dalam surga karena satu anak panah; orang yang membuatkannya di jalan Allah, orang yang menggunakannya di jalan Allah, dan orang yang menyiapkannya di jalan Allah. Itu udah luar biasa Insya Allah,”

Gambar 3. Sosok Kamelia yang sedang menunjukkan kemampuannya dalam berkuda

Peserta yang tertarik dalam program ini adalah kalangan kaum Muslim muda dengan rentang usia 19-27 tahun. Mereka berlatarbelakang sebagai pelajar dan pegawai dari berbagai daerah di Jabodetabek. Mereka meyakini olahraga ini dapat memperkuat keimanan, memberikan pahala, bagian dari pengamalan sunnah Nabi Muhammad, dan upaya mempersiapkan diri menghadapi akhir zaman. Keyakinan tersebut mendorong para peserta menyanggupi untuk membeli perlengkapan berkuda dan memanah secara personal dengan biaya mencapai Rp 1,5 juta. Sariyah* berbagi pengalamannya ketika membeli perlengkapan memanah,

Saya beli komplit; target, busur dan anak panahnya juga. Masing-masing beli di tempat berbeda. Nominal keseluruhannya sampai 1,5 juta.”

Gambar 4. Sekumpulan peserta perempuan sedang berlatih memanah

Olahraga ini tidak hanya menjadi ajang pemekaran ideologi tetapi juga ajang pertunjukan kesalihan individual yang bersifat kapitalis dan transaksional. Bentuk transaksional lainnya dari horseback archery ini adalah konsep pahala (religious rewards). Pahala (religious rewards)adalah konsep yang muncul dalam agama Islam untuk menyebut praktik pertukaran secara tidak langsung antara Tuhan dengan manusia atas kebaikan yang diperbuat manusia. Pahala menjadi motivasi bagi umat Islam untuk menjadi religius agar dapat “menukar” pahala dengan surga (Levy & Razin, 2012).

Pengusaha, pelatih, dan peserta West Java Archery melibatkan diri dalam kegiatan ini untuk mempraktikkan sunnah Nabi Muhammad. Mereka menganggap mempraktikkan sunnah Nabi akan memberikan pahala dan surga. Landasan spiritual semacam ini memungkinkan pembentukan perilaku berolahraga yang cenderung religius pula. Fatan*, seorang peserta laki-laki berusia 25 tahun, menganggap target panah sebagai target pahala yang harus dibidik dengan fokus dan ikhlas (berserah) pada Tuhan. Hal itu dia lakukan untuk mempraktikkan sunnah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi,

“...hanya ada tiga hal yang bermanfaat yaitu latihan berkuda atau menjinakkan kuda, melemparkan anak panah dari busurnya, dan terakhir bermain-main atau bercanda dengan keluarga. “

Gambar 5. Sekumpulan peserta laki-laki sedang berlatih memanah

Pengusaha, pelatih, dan peserta program ini juga meyakini bahwa berlatih berkuda dan memanah adalah bagian dari mempersiapkan diri menuju perang menaklukkan Roma dan kebangkitan Islam sesuai dengan hadis Nabi Muhammad. Mereka membayangkan akan berperan sebagai tentara pembela agama.  Seorang peserta perempuan, Delia*, menyatakan ingin menjadi salah satu tentara penakluk Roma yang akan menjadi bagian dari sejarah Islam baru,

Nah.. lepas itu sekarang tuh Roma belum ditaklukkan oleh Islam dan saya punya impian, saya ingin menjadi salah satu penakluk atau salah satu orang yang berperan dalam penaklukkan Roma. Dan kita harus mempersiapkan untuk hal itu untuk satu bahkan sepuluh tahun ke depan. Saya ingin mengambil peran kecil bukan hanya sebagai penonton tapi saya ingin menjadi orang yang menciptakan sejarah Islam yang baru.”

Perang dan kebangkitan Islam

Persepsi akan hadirnya perang dan  kebangkitan Islam adalah perpanjangan dari tujuan ideologis gerakan Islam transnasional yang bersifat fetisisme terhadap masa lalu (Ali & Orofino, 2018). Gerakan Islam transnasional, seperti Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, dan Ikhwanul Muslimin memiliki target untuk meraih kejayaan Islam kembali sesuai dengan hadis Nabi Muhammad tentang pengambilalihan wilayah Roma menjadi wilayah Islam. Mereka masih terjebak pada situasi sosial-politik dan ambisi masa lalu yang belum tercapai sehingga menjadikan itu sebagai bagian dari perjuangan (jihad) membela agama. Organisasi Islam, pondok pesantren, dan komunitas kesalihan adalah tempat-tempat yang menjadi sistem pengumpulan potensi penerus Islam melalui metode pelatihan yang terencana dan sistematis (Hilmy, 2009).

Ideologi Islam transnasional juga kontra terhadap ideologi dan kelompok selain Islam, misalnya liberalisme, kapitalisme, dan komunisme (Ali & Orofino, 2018). Pada konteks ini, ketertinggalan Muslim dalam menguasai olahraga horseback archery juga berpotensi mengganggu ideologi Islam transnasionalis dengan dalih mengganggu keimanan. Seorang peserta menyadari bahwa masyarakat Barat dan Eropa lebih menguasai horseback archery dibandingkan umat Islam sendiri sehingga berpotensi menimbulkan situasi yang berbahaya di masa depan,

Sekarang orang-orang kafir Eropa, Amerika, mereka semua lebih jago daripada kita. Memanah di atas kuda, memanah tradisional. Masa Muslimin yang pertama kali mencetuskan memanah di atas kuda enggak ada yang belajar lagi, itu kan sangat riskan untuk masa depan,”

Gambar 6. Para peserta sedang berlatih memanah melalui role-play situasi perang

Bayangan adanya perang memperebutkan Roma di akhir zaman sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad di abad ke-7 adalah sebuah konstruksi dunia imajiner (imagined world). Ini adalah imajinasi kolektif kelompok Islam transnasional dan pengikutnya, yaitu kemenangan Islam di berbagai wiayah dunia dengan sistem pemerintahan berbasis Islam (syariah). Mereka mengolah imajinasi ini menjadi strategi pemasaran gaya hidup dan produk Islami dengan menjual fetisisme kejayaan Islam masa lalu. Ini adalah bentuk kapitalisasi Islam tanpa mempertimbangkan relevansi dari produk yang dikonsumsi. Perang kontemporer tidak menggunakan pasukan perang berkuda yang dapat memanah, namun menggunakan berbagai teknologi militer yang canggih. Dengan kata lain, sunnah Nabi, pahala, dan kebangkitan Islam adalah materi komodifikasi Islam dalam praktik kapitalisme.


Referensi

Ali, J. A., & Orofino, E. (2018). Islamic revivalist movements in the modern world: An analysis of al-ikhwan al-muslimun, tabligh jama’at, and hizb ut-tahrir. Journal for the Academic Study of Religion, 31(1), 27–54. https://doi.org/10.1558/jasr.35051

Hilmy, M. (2009). ISLAMISM IN POST-NEW ORDER INDONESIA: Explaining the Contexts. In Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism (pp. 99–134). ISEAS.

Kızar, O. (2018). The place of sports in the light of quran, hadiths and the opinions of the muslim scholar in islam. Universal Journal of Educational Research, 6(11), 2663–2668. https://doi.org/10.13189/ujer.2018.061132

Levy, G., & Razin, R. (2012). Religious Beliefs, Religious Participation, and Cooperation. American Economic Journal: Microeconomics, 4(3), 121–151.

Rahim, B. H. A., Diah, N. M., Jani, H. M., & Ahmad, A. S. (2019). Islam and Sport: From Human Experiences to Revelation. Intellectual Discourse, 27(2), 413–430.

Paddock, R. C. 2020. “The ‘Niqab Squad’ Wants Women to be Seen Differently,” New York Times. [Article]. Retrieved by https://www.nytimes.com/2020/03/23/world/asia/indonesia-niqab-veil-islam-women.html

Note: *pseudonym

Dokumentasi selengkapnya:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *