Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 “Pemanfaatan AI dalam Penguatan Data Kebudayaan”

Studi Kultura Indonesia mengisi sesi materi dengan tema “Pemanfaatan AI dalam Penguatan Data Kebudayaan” di Kongres Kebudayaan Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia pada 23 Oktober 2023. Selain Kultura, ada dua pemateri lainnya yang berasal dari Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA).

Sesi presentasi “Pemanfaatan AI dalam Penguatan Data Kebudayaan” oleh Ki Joyo Sardo (Kultura)

Ki Joyo Sardo selaku Direktur Program Studi Kultura Indonesia menyampaikan materi dengan fokus pada pengaplikasian teknologi digital dan artificial intelligence (AI) dalam mendokumentasikan dan memvisualisasikan data-data Warisan Budaya Takbenda (WBTb), serta pengembangan dashboard analitik budaya Indonesia. 

Sebagai pembuka, Sardo menyampaikan tentang Perubahan Ekosistem Digital dan Tantangan Perubahan Digital. Dia mengatakan bahwa telah terjadi revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang mengakibatkan ledakan data (oversupply), sementara kemampuan untuk mengelolanya masih terbatas. Misalnya bebebrapa lembaga masih menyimpan dokumen dalam bentuk fisik dan beberapa lainnya berupaya melakukan digitalisasi dokumen, namun itu hanya sebatas memindahkan dokumen fisik menjadi format gambar atau PDF tanpa nilai tambah yang signifikan. Data-data ini seringkali tidak akurat, inkonsisten, tidak terorganisir dan sulit digunakan. Sardo juga menyoroti tentang keamanan data yang rentan terhadap kerusakan atau kehilangan, yang dapat diantisipasi melalui pengaplikasian ekosistem digital untuk menyimpan, melindungi, mengolah, dan membagikan data.

Pada sisi yang bersamaan, ledakan data dan transformasi teknologi digital menghadirkan tentangan bagi lembaga untuk beradaptasi pada ekosistem digital yang tidak solid ini sebab data dan teknologi senantiasa berubah secara cepat. Berkenaan dengan itu maka Sardo, melalui kerja sama antara Kultura dengan Dirjen Kebudayaan mengembangkan teknologi AI untuk menyimpan, mengelola, menyajikan, dan membagikan data-data kebudayaan dan Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia.

Sebelum menjelaskan tentang program pemanfaatan AI pada data-data kebudayaan Indonesia, Sardo menjelaskan sedikit tentang evolusi AI dan peluangnya di masa sekarang dan mendatang. Dia mengatakan bahwa evolusi AI sebenarnya sudah dimulai setidaknya sejak 1950-an, Lalu mengalami pasang surut dalam penggunaannya, dan kembali hype di era ledakan media sosialbig data, dan deep learning. AI dan Machine Learning memungkinkan pengolahan data yang lebih cerdas dan otomatis di era digital dan berpotensi menghasilkan deskripsi wawasan yang efisien. Misalnya otomatisasi dalam manajemen database, enkripsi data, text to voice dan sebaliknya, teknologi clouds, dan sebagainya. Intinya, berbicara AI adalah berbicara otomatisasi berbagai pekerjaan manual. 

Selanjutnya Sardo memaparkan program pemanfaatan AI pada data-data kebudayaan Indonesia, yaitu digitalisasi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia. Program digitalisasi WBTb ini adalah sebuah upaya mengintegrasikan data-data digital WBTb yang terdaftar ke dalam sebuah situs web yang dapat diakses siapa pun, kapan pun, dan di mana pun secara berkelanjutan. Data tersebut juga harus mudah dimengerti dan pada gilirannya dapat dimanfaatkan oleh para pekerja/penggiat kebudayaan. Digitalisasi WBTb ini bermula pada September 2022 yang berjalan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mengolah 200 dari 1728 WBTb yang ditetapkan oleh Dirjen Kebudayaan dan tahap kedua adalah menyelesaikan 1528 WBTb sisanya.

Sardo memaparkan situasi awal data WBTb yang masih berbentuk dokumen formulir dan diorganisir dalam folder-folder per wilayah provinsi. Kekurangan dari data-data tersebut adalah format data tidak sama sehingga menjadi tantangan bagi Kultura untuk menyusun kembali data-data tersebut agar akurat, bersih, konsisten dan terorganisir – itulah syarat untuk bisa menampilkan data WBTb menjadi sebuah visualisasi yang komprehensif. Melalui kajian yang dilakukan bersama tim WBTb Dirjen Kebudayaan maka tim Studi Kultura Indonesia dapat menyusun kembali data WBTb, memverifikasi deskripsi setiap WBTb, mengekstrak konsep-konsep penting dari setiap WBTb, lalu menyajikan kembali data dalam bentuk visualisasi berbasis social network analysis (SNA).

Digitalisasi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia (https://wbtb.kulturaindonesia.or.id)

Pada visualisasi WBTb (lihat gambar di atas) terdapat empat lapisan gugus (cluster) yang melingkar. Gugus pertama di bagian tengah adalah Lima domain budaya hasil adaptasi konvensi 2003 UNESCO, yaitu adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; seni pertunjukan; kemahiran kerajinan tradisional; dan tradisi dan ekspresi lisan. Gugus kedua adalah kumpulan nodes berwarna biru muda. Ini adalah 200 WBTb yang menjadi sampel dalam program ini. Gugus ketiga adalah seluruh konsep yang terhubung dengan 200 WBTb, yakni Fungsi sosial, Tema, Alat/Bahan, Cara/Proses, Demografi, dan Ekosistem. Gugus keempat di area terluar adalah daerah asal, yaitu daerah tingkat dua (kabupaten) berupa nodes kecil yang mengelilingi nodes yang lebih besar, yaitu daerah tingkat satu (provinsi) masing-masing.

Visualisasi berbasis SNA di atas mampu memperlihatkan hubungan-hubungan penting. Pertama, visualisasi dapat memperlihatkan darimana daerah asal WBTb, lalu apa saja fungsi sosial, tema, dan alat/bahan yang digunakan WBTb tersebut. Sebaliknya, visualisasi juga dapat memperlihatkan apa saja WBTb yang dimiliki setiap daerah asal, apa saja WBTb yang memiliki fungsi sosial yang sama, apa saja WBTb yang menggunakan bahan yang sama. Misalnya, visualisasi dapat memperlihatkan apa saja WBTb dari provinsi Sulawesi Selatan, apa saja WBTb yang termasuk dalam fungsi sebagai seni pertunjukan, apa saja WBTb yang sama-sama menggunakan musik pengiring, dan sebagainya. 

Sardo juga memaparkan program pemanfaatan AI lainnya, yaitu dashboard analitik kebudayaan bernama Telisik Budaya. Telisik Budaya adalah sebuah dashboard analitik realtime yang bisa memantau perkembangan wacana publik di bidang kebudayaan yang dikembangkan Studi Kultura Indonesia bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pantauan melalui dashboard ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk merancang kebijakan komunikasi dan publikasi. Dashboard ini juga diharapkan bisa berfungsi sebagai monitoring, kurasi kegiatan dan analisis ekosistem kebudayaan di Indonesia. “Kultura membangun berbagai tools yang user friendly untuk memenuhi tujuan tersebut.” ucap Sardo.

Tampilan halaman utama dashboard Telisik Budaya (http://telisik-budaya.com)

Fitur utama dashboard ini adalah sebagai sebuah web crawling, yang bekerja mengangkut semua informasi di bidang budaya dari tujuh platform, yaitu termasuk tiga platform berita (media massa nasional), media massa lokal, dan situs pemerintahan. Web crawling juga mencakup empat platform media sosial, yaitu Facebook, Instagram, X atau Twitter, dan TikTok. Kultura mengembangkan proses pengambilan data melalui mekanisme filtering agar mesin dashboard dapat menampilkan informasi yang relevan bagi pengguna. “Dashboard Telisik Budaya saat ini masih ada dalam tahap review dan uji coba. Kami masih berupaya untuk menyelesaikan dan menyempurnakan berbagai fitur di dalamnya.” Ucap Sardo menutup presentasi Telisik Budaya.

Pemaparan pertama oleh Sardo yang mewakili Studi Kultura Indonesia dilanjutkan pemaparan dua materi selanjutnya.  Pemaparan kedua dibawakan oleh Wijaya Kusumawardhana sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kominfo, yang memaparkan tentang prinsip fundamental Artificial Intelligence (AI) dan bagaimana teknologi itu berinteraksi dengan kebudayaan. Selanjutnya pemaparan materi terakhir dibawakan oleh Sita Sari dari Indonesian Visual Art Archive (IVAA) tentang digitalisasi pengarsipan manuskrip, dokumen visual, audio, pementasan, dan pameran Indonesia. Diskusi dipandu oleh Moderator Albert Sianturi dari Direktorat Kebudayaan Kemendikbudristek.