Membangun Toleransi di Tengah Tsunami Informasi

Pelatihan Media Sosial untuk Menghadapi Pemilu 2024 bersama Kader Penggerak SPRI

Sebagian Peserta Pelatihan melalui ruang Zoom – 1

Pada 13 November 2023, Studi Kultura Indonesia menyelenggarakan sebuah pelatihan dengan judul “Membangun Toleransi di Masa Tsunami Informasi.” Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengenalan kepada 45 orang Kader Penggerak Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), dari kelompok ibu-ibu dan bapak-bapak miskin perkotaan, tentang peran media sosial dalam menghasilkan, mengumpulkan, dan mendistribusikan banyak informasi digital yang berpotensi menempatkan penggunanya dalam lautan informasi yang sulit disaring. Pelatihan ini merupakan lanjutan dari program penguatan kapasitas Kader Penggerak SPRI untuk dapat menghadap bahaya hoax, politisasi SARA, dan ujaran kebencian, yang telah berlangsung sejak 2021.

Tim Kultura yang diwakili oleh Irma Rahmayuni (Peneliti) dan Sofiatul Hardiah (Peneliti) menyampaikan secara bergantian tentang potensi penyebaran narasi intoleran di media sosial dan strategi menangkal narasi intoleran tersebut melalui narasi alternatif. 

Irma membuka presentasinya dengan menyampaikan bahwa saat ini banyak informasi yang diproduksi dan disimpan dalam bentuk digital, seperti teks, gambar, video melalui berbagai media sosial yang kita gunakan, seperti Facebook, Instagram, TikTok, YouTube, bahkan melalui Status di WhatsApp.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa dalam era internet dan teknologi, kemudahan untuk membuat, menyimpan, dan berbagi informasi memang tak terbantahkan. Namun, bersamaan dengan kemudahan tersebut, muncul pula tantangan baru, yaitu tsunami informasi. Gelombang informasi yang melanda kita tanpa arah jelas, terkadang membuat kita terombang-ambing tanpa kejelasan. Hal ini menjadi semakin relevan menjelang Pemilu 2024, di mana konten politik dari tiga calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) merajai ruang digital.

Cuplikan informasi berupa konten populer tentang tiga capres di TikTok

Situasi di mana informasi begitu melimpah sementara waktu untuk menyaring informasi sangat terbatas, membuat kita rentan menerima konten yang bias. Kita hanya menerima konten yang  sesuai dengan pemahaman dan keyakinan kita. Bias ini dapat berasal dari ajaran agama, kesukuan, keyakinan, identitas, atau aspek lain yang relevan dengan diri kita.

Cuplikan temuan riset Kultura tentang 
Narasi-Narasi Pengasuhan Berbasis Keagamaan di Media Sosial (2019)

Sebagai contoh, riset Kultura tentang narasi-narasi pengasuhan di media sosial mengungkapkan bahwa narasi "masuk surga sekeluarga" dapat menciptakan habitus (situasi & perilaku) kekerasan dalam keluarga. Penelitian ini menyoroti bagaimana narasi tersebut membenarkan tindakan kekerasan melalui penggunaan kata jihad, yang menuntut anak laki-laki untuk bersiap membela agama dengan senjata AK-47. Kekerasan simbolik dalam narasi ini juga berkaitan dengan dominasi laki-laki atas perempuan.

Sementara narasi "membangun peradaban Islam" membayangkan Islam dalam situasi perang, mendukung pemurnian ajaran agama, dan dapat mengakibatkan pola pikir eksklusif dan diskriminatif. Responden dalam penelitian menunjukkan kecenderungan untuk mengasingkan keluarga dan agama lain yang dianggap sebagai ancaman.

Konten politik juga tidak luput dari upaya manipulasi. Misalnya, penggunaan teknologi Deep Fake yang dapat menghasilkan informasi palsu, menyebar fitnah, dan merusak karakter seseorang. Semua ini terhubung dalam jejaring algorithmic enclave, di mana konten yang kita sebarkan cenderung menciptakan "echo chamber" dengan teman-teman yang berpikiran serupa.

Potret Teknologi Deep Fake yang berpotensi digunakan 
dalam memproduksi konten Pemilu 2024
Potret konten video tentang Pemilu 2024 yang mengecoh

Bukan hanya narasi-narasi kontroversial, konten-konten Pemilu pun dapat menjadi sarana pengecoh dengan berbagai bias. Bahkan, komersialisasi buzzer yang menyebar kebencian menjadi salah satu ancaman dalam menyebarkan narasi tendensius yang memecah belah masyarakat.

Setelah Irma selesai memaparkan materinya, Sofi melanjutkan pemarapan materi tentang strategi menangkal narasi-narasi intoleran melalui ramuan narasi-narasi alternatif. Sebelum menjelaskan strategi praktikalnya, dia memberikan tips kepada para peserta dalam menghadapi tsunami informasi melalui cek fakta menggunakan sumber terpercaya, seperti turnbackhoax.id, Google Lens, dan Yandex.com. 

Selain cek fakta, yang bisa dilakukan lainnya adalah meramu narasi alternatif. Narasi alternatif bertujuan untuk membuka ruang dialog yang mengedepankan kedamaian, keadilan, toleransi, keberagaman, dan inklusivisme. Mengidentifikasi narasi intoleran, menemukan narasi induknya, dan merumuskan narasi alternatif yang positif menjadi kunci dalam melawan informasi yang merugikan.Sofi mengatakan bahwa narasi intoleran bisa teridentifikasi langsung dan tidak langsung. Bentuk narasi intoleran yang dapat diidentifikasi secara langsung terjadi ketika ada narasi yang menjelekkan sesuatu/seseorang, misalnya menggunakan pernyataan yang mengejek, mencela, rasis, bahkan mendiskriminasi. Sementara itu, narasi intoleran yang tidak langsung dapat diidentifikasi memerlukan sensitivitas dari pembaca narasi untuk kritis dalam mengolah kata demi kata yang digunakan dalam narasi itu. Narasi intoleran yang dikemas secara tidak langsung ada pada tabel pertama gambar di bawah ini: “Ayah sebagai pengambil keputusan utama dalam keluarga, istri/ibu harus menuruti ayah, anak-anak harus menuruti orang tua.”

Metode identifikasi dan membangun narasi alternatif (Kultura, 2019)
 

Ketika ini dilihat sekilas, narasinya biasa aja ya? Terus mengapa ini bisa intoleran?” tanya Sofi pada para peserta. Dia menjelaskan tentang interpretasi yang bisa muncul secara intoleran pada pernyataan tersebut. Pada konteks riset Kultura (2019) narasi ini hadir untuk mengatakan relasi antara anggota keluarga itu berupa relasi kepatuhan yang mutlak, memaksa, dan tidak boleh dibantah. “Jadi kalau ada perilaku dari salah satu orang yang disebut tadi, entah itu ayah, ibu, atau anak, melukai/menyakiti anggota keluarga lainnya maka ya interpretasinya jadi: ya biarin aja, kan memang kewajibannya harus patuh, gitu.. ya wajar aja gitu emang udah dari sononya.” Ucap Sofi.

Setelah mengidentifikasi narasi intoleran maka kita dapat menentukan Narasi Induk-nya. Narasi Induk ini adalah bahasan atau tema dari narasi intoleran itu, yaitu Keluarga Ideal. Setelah menentukan Narasi Induk maka Narasi Alternatif dapat diramu dengan menyusun narasi yang berseberangan dengan narasi intoleran dan berisi pesan-pesan kedamaian, kesetaraan, penghargaan, dan sebagainya.

Narasi alternatif tersebut adalah sebuah ide besar yang dapat diproduksi kembali menjadi sebuah konten multimedia untuk diunggah di berbagai media sosial pilihan pengguna. “Kita bisa pake tren atau lagu yang lagi populer/trending gitu ya.. misalnya kita mau upload di TikTok, kita bisa pake foto lagi masak bareng anak lalu caption di fotonya adalah kalimat yang mencerminkan narasi alternatif. Terus pake lagu yang relate dan menarik buat followers atau teman-teman medsos kita.” Jelas Sofi.Penyampaian materi pada pelatihan ini ditutup dengan penyampaian bahwa kita semua perlu berperan aktif dalam menyaring informasi dan tidak menyebarkan konten yang belum pasti kebenarannya, berpotensi mengandung unsur SARA, atau memicu emosi orang lain. Dengan demikian, kita dapat menghindari bahaya dari tsunami informasi dan berkontribusi pada menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan positif.

Sebagian Peserta Pelatihan melalui ruang Zoom – 2